Oleh: Adung (Pengurus ICMI Orwil Banten)
III. Kontribusi Arsip Dalam Upaya Rekonstruksi Sejarah
Rekonstruksi sejarah sudah pasti membutuhkan arsip, utamanya arsip statis (dokumen-dokumen penting), yaitu arsip yang dihasilkan oleh pencipta arsip karena memiliki nilai guna kesejarahan. Arsip sebagai rekaman peristiwa atau kegiatan pada masa lalu sangat penting dan amat sangat dibutuhkan dalam prose penulisan sejarah. Hai ini sejalan dengan guna sejarah yang secara intristik yaitu sejarah sebagai cara mengetahui masa lampau. Tanpa arsip, maka peristiwa sejarah tidak dapat diungkap. Arsip dalam konteks ilmu sejarah dikategorikan sebsgai sumber primer, yaitu sumber yang diperoleh dari orang yang melihat langsung atau terlibat langsung. Arsip sebagai sumber primer, setelah dilakukan tahapan kritik, maka derajat kualitas sumber ini (arsip) adalah sumber yang utama.
Dalam pengungkapa kerjasama antara Kesultanan Banten dengan kerajaan Iinggeris, pada tangga 4 Oktober 1605 dan itu arsip tekstiual yang sangat vital. Tanpa adanya arsif tektual yang dibuat oleh pihak Kultanan Banten dengan bekerjasama dengan Inggeris, maka pengungkapan sejarah keberadaan Kesultanan Banten akan mengalami kesulitan proses pengungkapannya. Melalui Arsip yang tersedia dapat dilakukan eksplansi, yakni yang berkaitan dengan eksistensi Kesultanan Banten ketika di zaman keemasannya itu.
- Berbagai Macam Sumber Sejarah
Sumber sejarah adalah segala sesuatu yang secara langsung atau tidak langsung menceritakan tentang keberadaan masa lalu. Sedangkan sumber sejarah disebut sebagai data sejarah. Sementara menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI). Bahwa sumber sejarah adalah data atau keterangan yang benar dan bahan nyata yang dapat dijadikan sebagai dasar kajian, analisis atau pun kesimpulan. Sedangkan data sejarah mempunyai pengertian seluruh informasi yang dapat dijadikan sebagai dasar untuk menyusun kembali tentang peristiwa masa lalu. Namun, perlu diingat, bahwa berbagai sumber sejarah itu bukanlah sejarah. Karena sejarah itu ada karena berbagai konstruksi dari para sejarawan terhadap sumber sejarah. Sedangkan adanya sumber sejarah merupakan bukti dan fakta adanya sejarah. Oleh karena itu, dengan adanya sumber sejarah, maka para sejarawan, akhirnya dapat mengetahui kenyataan sejarah. Tanpa sumber sejarah, maka para sejarawanpun tidak akan bisa bicara apa-apa tentang masa lalu, dan begitu juga sebaliknya, yakni tanpa sentuhan sejarawan, maka sumber sejarah pun belum bisa banyak berbicara apa-apa. Nahkan dalam konteks sejarah Banten, bahwa Kesultanan Banten pernah mengalami masa kejayaannya, yaitu dari abad ke 16-17 M. Dan bahkan diabad itu sudah punya bukti mata uang tersendiri.
- Mata Uang Kesultana Banten
Salah satu sember sejarah atau artefak sejarah yang bisa ditelusuri soal dimensi waktu dan ruangnya adalah berupa mata uang kesultanan Banten. Dan akhirnya ketika menggali Istana Surosowan, pihak Badan Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) kemudian menemukan Mata Uang Kesultanan Banten abad ke 16 M. Proses ekskavasi di kawasan reruntuhan Banten Lama atau di lokasi reruntuhan Keraton Surosowan itu, akhirnya telah menemukan mata uang sebagaimana telah disebutkan diatas. Mata uang tersebut, ternyata kerapkali digunakan oleh pihak Kesultanan Banten, yaitu ketika Kesultanan Banten dipimpin oleh Maulana Muhammad Pangeran Ratu Ing Banten tahun 1580-1596. Maulana Muhammad merupakan sultan ketiga dalam sejarah Kesultanan Banten.
Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) Banten, ketika melakukan proses ekskavasi di area Keraton Surosowan itu, yakni selama empat bulan, tepatnya di sebelah Utara Surosowan. Dan yang diekskavasi bagian dari Surosowan atau bagian depan Istana, dan di lokasi itu temukan selain mata uang Kesultanan Banten, namun ditemukan juga peluru meriam, peluru batu dan lain sebagainya. Sementara proses ekskavasi itu berlangsung mulai hari Senin, (22/7/2019).
Sedangkan tujuan dari ekskavasi itu sendiri sesungguhnya untuk memperlihatkan peta sebelah Utara Istana Surosowan. Dan hasil akhir dari proses ekskavasi tersebut, tentunya untuk mendapatkan perkiraan dan gambaran lokasi yang disebut Sri Manganti atau ruang tunggu tamu, yakni sebelum para tamu itu bertemu dengan Sultan. Bahkan, beberapa keping uang masa Kesultanan Banten yang ditemukan melalui proses ekskavasi itu masih dalam kondisi baik. Karena cetakan huruf di uang tersebut menunjukkan penggunaan uang tersebut di zaman Kesultanan Banten.
- Ciri Mata Uang Banten, Sudah Ada Sejak Abad 17 M.
Bahkan, mata uang Banten yang dipamerkan di Museum Negeri Banten (Senin, 4 Oktober 2021) lalu itu, ternyata Banten ketika dimasa kejayaannya, memang tidak hanya memiliki kemajuan dalam bidang militer dan ekonomi, bahkan Banten pada saat itu pernah menjadi pusat perekonomian dunia. Sebagai pusat perekonomian, sudah pasti Banten ketika itu sangat mudah untuk membuat mata uang yang biasa digunakan dalam bertransaksi.
Bahkan, menurut berita dari Kantor Berita Reuters Inggeris, yakni di tahun 2022 yang lalu, diberitakan juga tentang penemuan koin-koin misterius asal Banten. Satu ikat koin-koin yang berasal dari Jawa, Indonesia telah ditemukan dan tertanam dalam lumpur di pinggiran Sungai Thames, London. Bahkan uang kuno asal Banten tersebut, berbahan tembaga dan berlubang segi enam ditengahnya. Berisi 90 keping dalan satu renteng. Pada setiap kepingnya terdapat tulisan Arab yang berbunyi “Pangeran Ratu Ing Banten”. Dari hasil penelitian diketahui, bahwa uang kuno tersebut berasal dari abad ke 17 dan merupakan mata uang kuno Jawa pertama di Inggris. Karena, ketika dimasa Kesultanan Banten, memang sudah beredar mata uang Khasa dengan tulisan berhuruf Jawa Kuno pada bagian pinggir yang artinya Pangeran Ratoe, serta mata uang yang berhuruf Arab yang artinya Pangeran Ratu Ing Banten.
Sementara pada bagian belakang uang tersebut tampak polos. Sedangkan Pangeran Ratoe merupakan gelar dari Pengeran Sultan Maulana Muhammad, yakni yang memerintah Kesultanan Banten pada tahun 1580-1596. Uang tersebut dari bahan tembaga dengan ukiran diameter 31.8 mili meter, tebal 1,53 mili meter dan berat 7,42 gram. Sementara peredaran uang tersebut dimulai sejak masa Pemerintahan Sultan Abdul Mufahir Mahmud Badul Kadir, yaitu pengganti Sulan Maulana Muhammad awal abad ke 17 M.
- Mata Uang Kertas Daerah Banten Senilai Lima (5) Rupiah.
Sementara mata uang kertas Daerah Banten bernilai lima (5) rupiah pernah beredar juga di wilayah Kresidenan Banten. Dan uang kertas warna hijau itu, bagian depan uang tersebut ada gambar gerbang candi. Dan Banten merupakan salah satu daerah, yakni pasca tahun 1945 atau pasca kemerdekaan, yang dimandatkan langsung oleh pemerintah pusat Republik Indonesia untuk mencetak mata uang tersendiri. Karena saat itu memang dalam keadaan genting yang terjadi di Indonesia, karena penjajahan Belanda yang terus berlanjut pasca era kemerdekaan, dan akhirnya mengharuskan Banten untuk mencetak mata uang tersendiri. Bahkan ketika di zaman Kesultanan Banten, yakni sebagaimana telah dijelaskan diatas, bahwa sebelum Indonesia merdeka, Banten tentu memiliki sejarah yang panjang dengan kekayaan yang dimilikinya, terdapat mata uang yang digunakan dan sekaligus telah beredar di lingkup Kesultanan Banten. Dan dimasa penjajahan Belanda, Keresidenan Banten pun diperintahkan untuk mencetak mata uang tersendiri, hal itu sebagai starategi perlawanan blokade ekonomi Belanda. Untuk itu, tiga tahun pasca kemerdekaan, setelah mendapat mandat langsung dari pemerintahan pusat Republik Indonesia, dan Keresidenan Banten yang dipimpin oleh Kiyai Tb. Achmad Chatib, akhirnya mencetak mata uang Banten. Dan setelah mendapatkan persetujuan pemerintah pusat, Serang Banten pun dijadikan Masa pencetakan Uang Republik Indonesia Banten bernama “Uridab”, yakni dimulai sejak bulan Februari hingga 11 Agustus 1947.
- Dokumen Sejarah Kesultanan Banten Dalam Bentuk Surat-Surat Penting Surat Sultan Banten untuk Raja Inggris Bertahun 1605. Dan dokumen tersebut beraksara Arab Tertua dari Tatar Sunda. Di antara dokumen sejarah yang berasal dari Tatar Sunda yang tertulis dalam aksara Arab adalah sepucuk surat yang ditulis pada permulaan abad 17 atas nama Sultan Banten untuk Raja Inggris James I. Menurut Titik Pudjiastuti, yakni sebagaimaba ia jelaskan di dalam bukunya berjudul “Perang, Dagang, Persahabatan: Surat-surat Sultan Banten” . Titik Puji Astutut menjelaskan, bahwa surat tersebut ditulis di Banten pada 4 Oktober 1605, yaitu pada masa perwalian Pangeran Abdul Kadir. Surat tersebut sekaligus tercatat sebagai dokumen tertua yang berasal dari sejarah Kesultanan Banten yang eksis sejak tahun 1526. Surat tersebut ditulis dalam bahasa dan aksara Arab lengkap dengan tanda baca (harakat). Sementara jumlah halaman surat tersebut hanya satu halaman, dengan jumlah baris teks 9 larik. Bahan kertas yang digunakan adalah kertas Eropa.
Terdapat dua buah cap yang terletak di sisi kanan teks surat, satu berbentuk lingkaran memuat tulisan dua kalimat tauhid (lâ ilâha illallâh Muhammad rasûlullâh) sebagai cap dari pihak Banten, dan yang satunya cap dari pihak Inggris, yaitu memuat tulisan “her majestys state paper office”. Menurut Titik Puji Astuti, bahwa hingga saat ini surat tersebut tersimpan di Public Record Office, London, dengan nomor kode PRO SP 102/4/8. Pudjiastuti mengatakan, bahwa surat tersenut dibawa ke Inggris oleh Kapten Henry Middleton dan dikirim kepada Raja James I pada tanggal 25 Mei 1606. Surat tersebut ditulis pada masa perwalian Pangeran Abdul Kadir dan kemungkinan diterima oleh Sir Henry Middleton pada tanggal 4 Oktober 1605 ketika ia bersiap-siap berlayar meninggalkan Banten untuk kembali ke Inggris pada tanggal 6 Oktober 1605. Terdapat tiga tokoh utama yang berkaitan dengan surat tersebut yang penting untuk disinggung, yaitu Pangeran Abdul Kadir dari Banten (sebagai penulis dan pengirim surat), Sir Henry Middleton dari Inggris (sebagai kurir yang membawa dan menyampaikan surat) serta Raja James I dari Inggris (sebagai penerima surat).
Pangeran Abdul Kadir sendiri berkuasa penuh sebagai Sultan Banten pada 1624-1651. Ketika menulis surat tersenut, sang pangeran belum menjadi sultan yang berkuasa penuh karena masih belum dewasa, dan Kesultanan Banten diatur oleh perwalian (1596-1924). Pangeran Abdul Kadir mulai berkuasa penuh sebagai penguasa Banten ke empat, yaitu sejak 1624 dan mendapat gelar Sultan pada tahun 1638 dengan pentahbisan dari Syarif Makkah. Sejak saat itu, ia dikenal dengan nama Sultan Abul Mafakhir Mahmud Abdul Kadir. Setelah meninggal pada 1651, ia digelari Sultan Ageng ing Banten.
Sementara itu, Sir Henry Middleton adalah Gubernur dari firma dagang “London Trading” yang memimpin pelayaran ke Kepualan Hindia Timur (Nusantara) pada periode 1603-1614. Adapun Raja James I adalah putra Ratu Mary dari Scotlandia dan Henry Stewart, Lord Danley. Ia dinobatkan sebagai Raja Inggris pada tahun 1603. Sebagai raja Inggris, ia menyatukan Scotlandia dengan Inggris. Melalui surat sebagaimana telah dikemukakan diatas, tentunya kita dapat mengetahui, bahwa pada masa itu antara Kesultanan Banten dan Kerajaan Inggris, ternyata memang terikat sebuah hubungan diplomatik dan persahabatan yang mencakup aspek politik dan perdagangan. Sementara berdasarkan isi teks surat tersebut, diketahui bahwa Sultan Banten memberikan ucapan selamat untuk Raja James I yang telah dinobatkan sebagai Raja Inggris. Sultan Banten juga mengucapkan terima kasih atas hadiah yang dikirim oleh Raja James I melalui Jenderal Milton. Dan sebagai balasannya, Sultan Banten akhirnya mengirimkan hadiah balasan untuk Raja James I berupa lukidan hewan ternak.
Berikut ini adalah suntingan teks dan terjemahan surat tersebut “Yâ Fattâh (Wahai Dzat Yang Maha Membuka). Surat cinta Raja Banten datang ke Raja Inggris, Skotlandia, Prancis dan Irlandia. Semoga Allah memanjangkan umurnya dan menambahkannya wilayah kedaulatan negerinya setiap hari, dan memakmurkan semua wilayah dan rakyat di bawah pemerintahan Raja Inggris. Ammâ ba’du. Engkau telah mengutus kepadaku Raja Milton, yang mana ia telah datang kepadaku dengan selamat. Aku mendengar bahwa engkau menjadi Raja Inggris. Hatiku senang mendengarnya”. Sekarang, negeri Inggris dan negeri Banten adalah satu (bersahabat). Ammâ ba’du. Engkau telah memberi hadiah kepadaku, dan aku pun telah menerimanya dengan penuh cinta. Aku pun memberimu hadiah yaitu dua “faizhar”. Satu faizhar berupa empat belas binatang ternak. Satu faizhar lagi berupa tiga ekor binatang ternak yang lain.
Assalâm bi al-khair (salam dengan kebaikan). Sementara masa pemerintahan Sultan Abul Mafakhir Mahmud Abdul Kadir banyak meninggalkan dokumen-dokumen sejarah yang sangat penting. Dokumen-dokumen tersebut berupa arsip surat-surat diplomatik antara Kesultanan Banten dengan pihak otoritas luar, seperti Inggris dan VOC Belanda, juga berupa manuskrip-manuskrip yang sarat akan nilai-nilai keilmuan Islam.
Diantara manuskrip yang berasal dari masa sang Sultan ini adalah manuskrip kitab “al-Manhaj al-Wâdhih al-Sulûk” dan kitab “al-Mawâhib al-Rabbâniyyah ‘alâ al-As’ilah al-Jâwiyyah”. Dan kitab tersebut ditulis tahun 1637. Kedua kitab tersebut adalah karya Syaikh Ibn ‘Allân al-Shiddîqî al-Syâfi’î al-Makkî (w. 1647), yaitu seorang ulama sentral Makkah yang juga guru dari sang Sultan Banten pada saat itu. Kedua karya di atas ditulis dalam bahasa Arab dan khusus dikirim dari Makkah oleh pengarangnya untuk sang Sultan di Banten. Karya pertama berisi kajian ilmu politik dan etika tata negara, sementara karya kedua berisi ulasan dan jawaban (fatwa) dari Syaikh Ibn ‘Allân atas sepuluh buah pertanyaan yang diajukan oleh sang Sultan Banten, yaitu terkait berbagai persoalan kenegaraan dan keagamaan. Pada karya yang terakhir (al-Mawâhib al-Rabbâniyyah), terdapat penambahan teks berbahasa Jawa aksara Arab (Pegon) sebagai terjemah interlinear dari teks utama yang berbahasa Arab.
Dokumen-dokumen sejarah di atas setidaknya cukup membuktikan kepada kita, bahwa pada masa itu Banten merupakan sebuah kekuatan politik yang besar dengan aktivitas perekonomian dan perdagangan yang mapan dan maju, khususnya di kawasan Nusantara. Bahkan, pamor atau kharismatik Kesultanan Banten saat itu memang sebanding dengan Kesultanan Aceh di Sumatra dan Kesultanan Mataram di pedalaman Jawa. Bahkan pada saat itu, Banten juga menjadi salah satu pusat keilmuan Islam yang terpenting di Asia Tenggara yang terkoneksi dengan pusat aktivitas keilmuan di Timur-Tengah.
- Sumber Sejarah Dalam Bentuk Surat Kabar
Sumber sejarah adalah segala sesuatu yang secara langsung atau tidak langsung menceritakan tentang keberadaan masa lalu. Sedangkan sumber sejarah disebut sebagai data sejarah. Sedangkan data sejarah mempunyai pengertian seluruh informasi yang dapat dijadikan sebagai dasar untuk menyusun kembali tentang peristiwa masa lalu. Sedangkan salah satu sumber sejarah yang bisa dijadikan rujukan adalah hasil pemberitaan surat kabar. Bahkan, salah seorang wartawan yang kerapkali membuat berita ketika Indonesia dimasa penjajahan Belanda, yaitu seorang wartawan dan sekaligus seorang peneliti muda dari Prancis, yaitu Claudia Guillot. Dan bahkan ia telah mengarang buku berjudul, “Sejarah Dan Peradaban Abad X-XIII”. Buku tersebut merupakan kumpulan tulisan Claude Guillot. Dan buku itu diterbitkan oleh Kelompok Penerbit Gramedia, Ecole francaise d’Extreme-Orient (EFEO), Forum Jakarta-Paris, dan Pusat Penelitian dan Pengembangan Arkeologi Nasional Jakarta, yakni pada bulan Desember 2008 (Cetakan Pertama). Buku tersebut merupakan kumpulan tulisan Claude Guillot sebagian bersama penulis lain yang tersebar dalam berbagai jurnal/majalah, seperti Archipel, Indonesia, dan sejumlah buku bunga rampai yang diterbitkan antara tahun 1989 sampai 2006. Tulisan-tulisan tersebut umumnya berbahasa Perancis dan kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia untuk keperluan penerbitan buku tersebut. Jumlah tulisan yang terdapat dalam buku itu sebanyak 15 buah. Dan secara umum buku tersebut membicarakan tiga topik utama, yaitu Banten sebelum kedatangan Islam, komponen-komponen dari masyarakat Banten zaman Islam melalui tata perkotaan, perjuangan-perjuangan merebut kekuasaan dan terikatnya Banten pada dunia agraris, dan yang terakhir hubungan Banten dengan pihak-pihak asing.
Namun kalau kita coba telusuri, bahwa seorang Claude Guillot, ia adalah seorang wartawan, peneliti asal Perancis yang pernah menjadi dosen bahasa Perancis di berbagai universitas di Mesir, Tanzania dan Indonesia. Sedangkan buku karangannya, yakni sebagaimana judul diatas, memang disusun menjadi tiga bagian, dan masing-masing bagian terdiri atas beberapa artikel. Dan ketiga bagian buku dimaksud adalah : (1) ‘Banten sebelum Islam. (2). Masyarakat dan Politik dalam Kesultanan Banten Tahun 1678. ( 3). Banten dan Dunia Asing. Sedangkan isi ringkas buku tersebut sebenarnya telah diramu oleh penulis sendiri dalam Prakata (h. 11-12), tetapi terasa terlalu ringkas.
Untuk meringkaskan buku tersebut-pun terdapat kesulitan karena sebagian tampaknya artikel berdiri sendiri-sendiri, misalnya pada bagian satu yang diberi judul “Banten sebelum Islam”, tetapi satu artikel menyajikan masa peralihan di Banten dari zaman Pajajaran ke zaman Islam.
Bagian pertama yang menyajikan “Banten sebelum Islam” terdiri atas dua artikel. Artikel pertama membahas “Negeri Banten Girang”. Artikel tersebut ditulis oleh Guillot. Dalam artikel tersebut diuraikan sejarah kuno Banten sebelum kedatangan Islam, yang menyebutkan bahwa pusat ibu kotanya masih di Banten Girang, sepuluh kilometer dari Laut Jawa di hulu Sungai Cibanten (h. 12). Hal itu terungkap beradasarkan hasil penggalian arkeologi selama empat tahun (1988-1992) di situs Banten Girang (h. 16). Artikel tersebut memberikan simpulan bahwa dinasti Islam bukanlah pendiri Banten tetapi dinasti ini perebut kekuasaan dalam ‘negara’ yang telah memiliki sejarah yang panjang dalam perniagaan internasional. Sebuah simpulan yang harus dikritisi, terutama oleh kita masyarakat Banten.
Sedangkan artikel kedua membahas “Perjanjian Antara Portugis dan Sunda Tahun 1522 dan Masalahnya” (hal. 31-64). Artikel tersebut merupakan penafsiran atas sumber tertulis yang masih menjadi kendala bagi para sejawaran Indonesia karena menggunakan bahasa Portugis. Teks-teks lain di antaranya adalah catatan dua penulis kronik asal Portugis, Joao de Barros dan Diogo de Couto (h. 32-34).
Bagian kedua yang membahas ‘Masyarakat dan Politik dalam Kesultanan Banten Tahun 1678’ terdiri atas lima artikel, yaitu: (1). “Kebebasan Berusaha Melawan Ekonomi Terpimpin: Perang Saudara di Banten, 1580-1609 (h. 107-130), 2) “Orang-Orang Tionghoa Penghasil Gula di Kelapadua, Banten, Abad ke-17: Teks-Teks dan Peninggalan” (h. 131-154). ( 3). “Politik Produksi Pangan Sultan Ageng (1651-1682) (h. 155-200), (4) “Keseimbangan Sulit Antara Ambisi Politik dan Perkembangan Ekonomi: Perang dan Damai di Banten (Abad ke-16-ke-17) (h. 201-218), dan (5). “Pola Perkotaan dan Pemerintahan di Kota-Kota Perdagangan di Dunia Melayu (Abad ke-15-ke-17) (h. 219-240). Secara umum, bagian ini menguraikan “aspek-aspek sejarah kemasyarakatan dan peradaban Banten pada zaman Islam. (Bagian II)