Bantenologi

Mengkaji Tradisi, Membangun Jati Diri

Teori Ilmu Geologi dan Rekonstruksi Kehidupan Prasejarah Masyarakat Banten (Bagian I)

Oleh : Adung Abdul Haris (Pengurus ICMI Orwil Banten)

Batu Menhir di Ling. Cagar Alam, Pasir Peteuy PandeglangI. Pendahuluan

Menurut ilmu geologi, bahwa awalnya bumi ini belum dihuni oleh manusia. Bahkan ketika itu, yang hidup hanya beberapa jenis hewan, serta tumbuhan saja yang tinggal di planet ini. Seiring berjalannya waktu, bumi terus berkembang hingga saat ini menjadi rumah bagi miliaran manusia di seantero jagat raya ini. Bahkan, dalam teori ilmu geologi, bumi ini bisa dipelajari lewat pembabakan sejarahnya. Adapun, pembabakan sejarah dalam ilmu geologi dibagi menjadi empat : (1). Zaman Arkaekum. (2). Zaman Paleozoikum (3). Zaman Mesozoikum (4). Zaman Neozoikum.

Pertama,  Zaman Arkaekum. Zaman Arkaekum adalah zaman yang paling tua. Di zaman ini diperkirakan terjadi pada 2.500 juta tahun yang lalu. Dizaman ini kulit bumi-pun masih membara karena temperaturnya masih sangat tinggi. Di zaman Arkaekum, belum ada tanda-tanda kehidupan, dan bumi masih dalam proses pembentukan menjadi zat padat. Kedua, zaman Paleozoikum. Di zaman ini, merupakan kelanjutan dari zaman Arkaekum. Zaman Paleozoikum merupakan zaman bumi purba (masa ketika hidrosfer dan atmosfer mulai terbentuk di permukaan bumi). Diperkirakan zaman ini berlangsung pada 340 juta tahun yang lalu.

Di zaman ini mulai muncul tanda-tanda kehidupan, yakni bumi mulai berangsur-angsur menjadi dingin dan kehidupan dimulai dengan munculnya nenek moyang makhluk hidup bersel satu, yaitu disebut mikroorganisme. Ada pula beberapa jenis ikan, amfibi, dan binatang melata (reptil). Sedangkan binatang bertulang belakang di zaman ini jumlahnya masih sedikit. Di zaman Paleozoikum ini terbagi menjadi beberapa tahapan yait : (1). Cambrium, zaman ini ditandai dengan kehidupan yang masih sangat primitif, seperti hanya ada sejenis kerang dan ubur-ubur. Kemudian di zaman silur. Di zaman silur ini merupakan zaman dimana mulai ada hewan bertulang belakang seperti ikan. Kemudian terus berlanjut ke zaman devon. Di zaman devon ini ditandai dengan mulai adanya binatang amfibi tertua, yaitu dengan adanya binatang merayap berjenis reptil. Kemudian ditandai dengan adanya hewan darat, ikan air tawar, dan amfibi.

Rekonstruksi Sejarah, Amnesia Sejarah dan Belajar Sejarah dari Batu Nisan (Bagian III/habis)

Oleh: Adung Abdul Haris (Pengurus ICMI Orwil Banten)

IV. Sumber Sejarah Berupa Fitur (Kuburan Dan Batu Nisan)

 

  1. Makam Dan Batu Nisan

 

Sementsra artefak sejarah atau fakta arkeologis yang mengandung artikulasi sejarah pada masa Islam diantaranya adalah makam dan Masjid. Sedangkan makam Islam tertua adalah makam Fatimah Binti Maimun. Makam tersebut berada di Gresik, Jawa Timur. Kemudian di Aceh juga ditemukan batu nisan Sultan Malik As Saleh, yang meninggal tahun 1326 M. Sementara Bagian nisan makam tersebut dihias pahatan, dan Gapura makam tersebut dipahat dengan indah dan diantaranya adalah Gapura makam Sendang Duwur di Tuban, Jawa Timur. Sementara contoh makam-makam tertua di zaman Islam di Indonesia, antara lain ; makam Fatimah binti Maimun di Leran, Gresik, dan makam Troloyo di Trowulan, Mojokerto, dan makam Malik As-Shaleh di Aceh.

 

Sementara untuk di wilayah Banten sendiri berupa artefak sejarah berups fitur ini, yaitu Makam Sultan Maulana Hasanudin Banten beserta keluarganya dan berada di Komplek pemakaman Kesultanan Banten dan berada di dekat Masjid Agung Banten. Namun pada dasarnya, bahwa ilmu kepurbakalaan memiliki berbagai bidang kajian. Bahkan sering kali bidang kajiannya dihubungkan dengan periode, yakni priode prasejarah, priode klasik (Hindu-Buddha), priode Islam, dan priode Kolonial. Sebagai salah satu budaya material, maka batu nisan atau batu penanda orang yang  sudah wafat, memang memiliki beragam informasi yang terdapat pada batu nisan itu, yakni mulai dari bentuk, bahan, dan ragam hias atau ornamennya. Yakni, bagaimana agar kita bisa mengetahui beragam informasi yang dapat diungkap dari inskripsi yang termuat di batu nisan itu, yakni dengan cara untuk terus menganalisa terhadap keragaman jenis artefak dan data inskripsinya, seperti typologi heraldik, iluminasi, dan inskripsi agar kita dapat memperoleh bahan untuk kajian arkeologi lebih lanjut.

 

 

Salah satu peninggalan arkeologi yang sering dibahas adalah makam yang di atasnya terdapat batu nisan. Sementara besar kecilnya atau mewah tidaknya soal batu nisan kuno itu, tergantung status sosial yang bersangkutan. Kalau seseoang raja/sultan, penguasa, atau pejabat logikanya tentu saja nisannya pasti megah dan mewah penuh ukiran atau ornamen. Bahan batu nisannya-pun pasti dari batu mahal yang diimpor dari luar daerah atau bahkan dar mancanegara. Namun kalau rakyat biasa, tentu saja nisannya mungkin sangat sederhana. Sementara di mata para arkeolog, semua batu nisan itu dipandang sebagai data masa lampau (data sejarah). Nisan kuno tergolong awet karena berbahan batu yang langka, tapi yang penting dari nisan itu, ada tulisan atau inskripsi di dalamnya.

 

Sementara dalam konteks batu nisan umat muslim, umumnya menggunakan aksara dan bahasa Arab, dan termasuk batu nisan yang terlihat bersarakan yang berada di kompleks pemakaman Kesultanan Banten, yamg umumnya kalau penulis analisis bertuliskan bahasa Arab. Bahkan, dalam nisan itu sering kali tertulis siapa yang meninggal dan kapan meninggalnya dan lain sebagainya. Dalam batu nisan orang Islam misalnya, tentu saja sesuai budaya, maka seringkali batu nisan orang Islam itu memakai tahun Hijriah yang kemudian dikonversi ke tahun Masehi. Dan biasanya yang bisa membaca aksara Arab itu adalah mereka yang mendalami epigrafi Islam. Seperti komunitas-kominitas pemerhati sejarah yang mengfokuskan diri pada situs-situs batu nisan kuno, para sejarawan yang ahli dibidangnya (arkeologi) dan lain sebagainya. Namun ssat ini, epigrafi Islam itu sudah diajarkan pada disiplin arkeologi di beberapa Universitas Negeri Islam di tanah air.

 

Kenapa mesti nisan? Karena nisan menjadi salah satu bagian atribut penting dari pemakaman Islam. Karena fungsi nisan itu sendiri sesungguhnya sebagai penanda bahwa di tempat tersebut telah dimakamkan seorang yang bernama…..bin………dan lain sebagainya. Sedangkan nisan dalam kajian arkeologi merupakan salah satu pendekatan yang dapat dilakukan untuk merekontruksi sejarah kebudayaan manusia di masa lalu dan dapat dijadikan sebagai fakta sejarah, terutama oleh seorang peneliti untuk mengetahui keberadaan Islam di suatu daerah. Namun umumnya nisan-nisan kuno yang ada di Indonesia antara satu daerah dengan daerah lainnya memiliki bentuk dan corak yang berbeda, kemudian menjadi ciri khas masing-masing daerah.

 

  1. Belajar Sejarah Dari Makam Dan Batu Nisan

 

Islam merupakan agama yang mengajarkan kita tentang berbagai hal yang erat hubungannya dengan ketuhanan (hablum minallah), dimana Islam menggambarkan satu relasi antara Allah sebagai khaliq dan manusia sebagai makhluk serta penanganan berbagai masalah sosial (hablum minan nas) yang erat kaitannya dengan Huqqul Adami, dan  termasuk di dalam ajaran Islam  adalah tata cara merawat atau memakai tanah kuburan (tanah wakaf pekuburan) dari nenek moyang kita, yakni sebagai pangkal sejarah terhadap keberadaan makam dan nisan orang-orang terpercaya dalam penyebaran agama Islam di Nusantara. Makam atau nisan identik dengan ajaran agama Islam. Sedangkan ragam hias pada batu nisan, umumnya dibentuk dengan cara dipahat dan kemudian menghasilkan bentuk-bentuk tertentu, yakni untuk menghiasi nisan sehingga terlihat tidak polos. Perkembangan batu nisan tipe tersebut beserta ragam hiasnya, memang mencakup dimensi waktu dan ruang. Misalnya, batu nisan tipe Sultam Malik As-Shaleh di Aceh, memang pada awalnya berkembang dari nisan pada makam Sultan Malik As-shaleh di Aceh pada abad ke-13 M. Selanjunya nisan itu terus menyebar ke arah Timur ke Sumatra, Banten, Lombok, dan Gowa di Sulawesi Selatan pada abad ke-17 M. Ragam hias pada batu nisan tipe Sultan Malik As-Shaleh ini, dalam proses perkembangannya dibedakan dua kelompok yakni ; Pertama, kelompok ragam hias yang keberadaannya selalu tetap ada dari awal hingga akhir perkembangannya. Kedua, kelompok ragam hias yang keberadaannya hilang atau diganti dengan ragam hias jenis lainnya. Nisan tipe Malik As-Shaleh yang standar, memang terdapat pada makam Sultan Malik As-Shaleh.

 

Dan semu jenis elemen dekoratif terdapat pada nisan tersebut sehingga terlihat indah. Adapun nisan tipe sejenis pada makam lainnya memang memiliki ragam hias yang sederhana dan berbeda-beda.

 

Bahkan, salah satu tinggalan arkeologi yang banyak ditemui di wilayah kita masing-masing adalah batu nisan. Sebagai salah satu budaya materi, maka batu nisan memang memiliki beragam informasi yang terdapat pada batu nisan itu sendiri, yaitu mulai dari bentuk, bahan, dan ragam hiasnya. Oleh karena itu, pada bagian ini, penulis mencoba untuk mengungkap dan sekaligus menampilkan tinjauan awal untuk mengetahui tipologi dan beragam informasi yang dapat diungkap dari inskripsi yang termuat di batu nisan itu. Karena, nisan merupakan batu tanda kubur, yang biasanya disertai dengan inskripsi yang umumnya memuat informasi siapa yang dikuburkan ditempat itu, kemudian kspan wafatnya, dan hal itu menyangkut dimensi waktu. Bahkan, batu nisan sangat umum dijumpai pada setiap makam, baik pada makam orang yang beragama Islam, Kristen, Cina, serta pada makam-makam orang yang beragama lainnya. Sebagai suatu benda peninggalan arkeologi, tanda batu kubur itu (batu nisan), ia masuk dalam kategori (golongan fitur).

Bahkan, nisan sebagai suatu fitur, ia dapat dimasukkan dalam kelompok “constructed features”, karena dimaksudkan sebagai tanda atau peringatan kepada orang yang sudah wafat atau orang yang sudah meninggal dunia dan sengaja dibuat. Sementara pada nisan-nisan kuno mencakup tiga dimensi arkeologi, antara lain : Pertama, sebagai ruang (space), dengan asumsi nisan pada makam itu tidak dapat dipindahkan jauh dari tempat aslinya dibangun. Kedua, sebagai waktu (time), yakni sejauh makam-makam itu mengandung keterangan tentang pertanggalan. Ketiga, sebagai bentuk (form), bila ada pola-pola hiasan yang cukup kompleks sehingga variasi-variasinya dapat dengan mudah diidentifisir atau dikenali. Sedangkan nisan-nisan yang menjadi koleksi di Museum Situs Kepurbakalaan Banten Lama  (MSKBL) misalnya, dan sempat beberapa kalk penulis melakukan riset arkeologis di tempat itu.

Dan diantaranya : Pertama, nisan Belanda, yakni nisan yang pada permukaan batunya tertera identitas nama orang Belanda, dan pada bagian permukaan juga tercantum inskripsi berhuruf latin berbahasa Belanda. Sementara nisan tersebut ada yang dipamerkan di ruang pamer MSKBL, namun ada pula yang disimpan di dalam ruang storage koleksi. Kedua, nisan orang Islam, pada batu nisan Islam ini biasanya ada inskripsi berhuruf arab. Akan tetapi beberapa batu nisan Islam koleksi MSKBL, memang ada yang inskripsinya sudah hilang atau mungkin memang tanpa inskripsi, karena hanya dipakai sebagai tanda kubur saja. Ketiga, nisan Cina, pada batu nisan cina ini memang terdapat inskripsi huruf-huruf Cina.

 

  1. Nisan (Batu Nisan) Menurut Etimologis

 

Kalau kita coba kotak-katik dari sudut bahasa, maka muncul dua penafsiran atas istilah nisan itu. Pertama, “nisan” merupakan turunan dari kata nasiya “lupa” (kata kerja), sementara kata bendanya  nasyana’an atau nisyaanan. Ringkasnya, biar kita tidak lupa pada makam yang wafat, maka ditaruh-lah suatu tanda nasyaanan (nisyaanan). Tafsir kedua, kata nisan itu berasal dari kata al-insan atau ‘manusia’.  Sebab, antara kata insan dan nisyaanan  memang begitu dekat. Bahkan, terdapat ungkapan dalam bahasa Arab : Summiyal insanu li nisyanihi. Artinya, Dia dikatakan manusia lantaran (bersifat) lupa. Sejalan dengan ungkapan lainnya yaitu : :Al-insan mahallul khatta’ wa nisyan”.

Kalimat tersebut mengandung arti bahwa manusia itu memiliki kecenderungan salah dan lupa. Bila kita cermati apa yang telah penulis kemukakan diatas terutama dari sudud etimologisnya itu, memang tafsir terakhir lebih mendekati kebenaran, yakni kata “nisan” bermula dari kata insan, lalu berubah menjadi “nisan”. Dan perubahan itu diduga kuat akibat adanya gejala bahasa metatesis, yaitu perubahan letak huruf, bunyi, atau suku kata dalam kata. Semisal, riwa-riwi bersalin menjadi wira-wiri, dan rontal bersalin lontar. Demikian pula sangat mungkin perubahan letak (i) dan (n) dalam insan dan nisan.

 

Disamping penulis telah beberapa kali melakuksn riset arkeologis (meneliti tentang batu nisan), yakni di tempat yang menjadi koleksi Musium Situs Kepurbakalaan Banten Lama (MSKBL), yakni sebagaimana telah diungkapkan dibagian atas.  Penulis juga terus menelusuri batu nisan kuno, yaitu yang berada di Kampung kelahiran penulis, yakni di Kampung Batukarut, Desa Mogana, Kecamatan Banjar, Kabupaten Pandeglang-Banten. Dan diperkirakan makam dan batu nisan kuno itu, sudah berada saja abad ke 15 M. Sementara batu nisan tersenut terbuat dari batu yang kuat (bermutu) dan penuh ornamen. Hanya saja inkripsinya sudah tidak bisa terbaca.

 

Bahkan, sejak zaman almahum orang tua penulis masih hidup maupun sejak zaman sang pendiri Masjid Jami’ Bani Marwan Kampung Batukarut, yakni (Alm) Mama Abuya Marwan masih ada, memang mereka juga tidak tau persis, yakni siapa dan dari nama asal almarhum almagfurlah yang kuburan dan sekaligus batu nisannya yang kuno dan bercorak Islam itu, yang hingga saat ini letak kuburan dan batu nisannya persis berada di depan Masjid Jami’ Bani Marwan Batukarut itu. Dan belum pernah satu pun para ahli arkeologi maupun (ilmu kepurbakalaan) yang  coba melakukan proses penelitian siapa almarhum almagfurlah yang dikubur di depan Masjid Batukarut itu? Serta pada abad keberapakah persisnya almarhum yang dikuburkan di depan “Pangimaman” Masjid Batukarut itu?

 

Namun detailnya, yakni sekitar dua bulan yang lalu (Jum’at, 20 Oktober 2023), penulis mencoba melakukan penelitian kembali (riset) pada batu nisan kuno yang berada di depan Masjid Jami’ Bani Marwan Kampung Batukarut itu, yakni guna penelusuran lebih lanjut. Dan ketika di bulan Oktober itu penulis terus mencatat inkripsi maupun berbagai ornamen serta jenis batu yang digunakan untuk batu nisan kuno itu. Namun, hasil kesimpulan sementara yang penulis dapatkan, yakni setelah melakukan riset di tanggal 20 Oktober 2023 itu, penulis mengindikasikan (menyimpulkan), bahwa kuburan dan sekaligus batu nisan yang kuno sekaligus berada di Kampung Batukarut itu, besarkemungkinan memang ada hubungannya (ada tali-temalinya) dengan proses dakwah Islam yang dilakukan oleh pihak kesultanan Banten, yakni di awal berdirinya Kesultanan Banten, sehingga pada saat itu dari pihak Kesultanan Banten mengutus salah seorang ulama stau juru dakwah untuk melakukan proses islamisasi di Kampung Batukarut itu.

Hal itu juga terdukung oleh berbagai fakta sejarah, yakni bagaimana proses islamisasi itu dilakukan ketika itu kerapkali melalui prodes asimilatif (perkawinan) dan dakwah Islam bercorak atau melalui pendekatan budaya, yakni seperti yang dilakukan oleh para Wali Songo dulu. Dan terindikatif, bahwa almarhum yang di kuburannya persis di dekat Masjid Batukarut itu, kemungkinan-besar, beliay seorang da’i, mengingat batu nisannya yang kuno atau sudah ratusan tahun itu inkripsi maupum coraknya memang  terlihat seperti batu nisan orang Islam (Islami). Bahkan letak kubutannya-pun persis berada di depan Masjid. Sementara dalam tradisi Islam, bahwa antara Masjid dan kuburan memang selalu berdekatan, yakni letak kuburan itu kerapkali ada di samping atau di depan Masjid. (Habis).

 

Rekonstruksi Sejarah, Amnesia Sejarah dan Belajar Sejarah dari Batu Nisan (Bagian II)

Oleh: Adung (Pengurus ICMI Orwil Banten)

III. Kontribusi Arsip Dalam Upaya Rekonstruksi Sejarah

 

Rekonstruksi sejarah sudah pasti membutuhkan arsip, utamanya arsip statis (dokumen-dokumen penting), yaitu arsip yang dihasilkan oleh pencipta arsip karena memiliki nilai guna kesejarahan. Arsip sebagai rekaman peristiwa atau kegiatan pada masa lalu sangat penting dan amat sangat dibutuhkan dalam prose penulisan sejarah. Hai ini sejalan dengan guna sejarah yang secara intristik yaitu sejarah sebagai cara mengetahui masa lampau. Tanpa arsip, maka peristiwa sejarah tidak dapat diungkap. Arsip dalam konteks ilmu sejarah dikategorikan sebsgai sumber primer, yaitu sumber yang diperoleh dari orang yang melihat langsung atau terlibat langsung. Arsip sebagai sumber primer, setelah dilakukan tahapan kritik, maka derajat kualitas sumber ini (arsip) adalah sumber yang utama.

 

Dalam pengungkapa kerjasama antara Kesultanan Banten dengan kerajaan Iinggeris, pada tangga 4 Oktober 1605 dan itu arsip tekstiual yang sangat vital. Tanpa adanya arsif tektual yang dibuat oleh pihak Kultanan Banten dengan bekerjasama dengan Inggeris, maka pengungkapan sejarah keberadaan Kesultanan Banten akan mengalami kesulitan proses pengungkapannya. Melalui Arsip yang tersedia dapat dilakukan eksplansi, yakni yang berkaitan dengan eksistensi Kesultanan Banten ketika di zaman keemasannya itu.

 

  1. Berbagai Macam Sumber Sejarah

 

Sumber sejarah adalah segala sesuatu yang secara langsung atau tidak langsung menceritakan tentang keberadaan masa lalu. Sedangkan sumber sejarah disebut sebagai data sejarah. Sementara menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI). Bahwa sumber sejarah adalah data atau keterangan yang benar dan bahan nyata yang dapat dijadikan sebagai dasar kajian, analisis atau pun kesimpulan. Sedangkan data sejarah mempunyai pengertian seluruh informasi yang dapat dijadikan sebagai dasar untuk menyusun kembali tentang peristiwa masa lalu. Namun, perlu diingat, bahwa berbagai sumber sejarah itu bukanlah sejarah. Karena sejarah itu ada karena berbagai konstruksi dari para sejarawan terhadap sumber sejarah. Sedangkan adanya sumber sejarah merupakan bukti dan fakta adanya sejarah. Oleh karena itu, dengan adanya sumber sejarah, maka para sejarawan, akhirnya dapat mengetahui kenyataan sejarah. Tanpa sumber sejarah, maka para sejarawanpun tidak akan bisa bicara apa-apa tentang masa lalu, dan begitu juga sebaliknya, yakni tanpa sentuhan sejarawan, maka sumber sejarah pun belum bisa banyak berbicara apa-apa. Nahkan dalam konteks sejarah Banten, bahwa Kesultanan Banten pernah mengalami masa kejayaannya, yaitu dari abad ke 16-17 M. Dan bahkan diabad itu sudah punya bukti mata uang tersendiri.

 

  1. Mata Uang Kesultana Banten

 

Salah satu sember sejarah atau artefak sejarah yang bisa ditelusuri soal dimensi waktu dan ruangnya adalah berupa mata uang kesultanan Banten. Dan akhirnya ketika menggali Istana Surosowan, pihak Badan Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) kemudian menemukan Mata Uang Kesultanan Banten abad ke 16 M. Proses ekskavasi di kawasan reruntuhan Banten Lama atau di lokasi reruntuhan Keraton Surosowan itu, akhirnya telah menemukan mata uang sebagaimana telah disebutkan diatas. Mata uang tersebut, ternyata kerapkali digunakan oleh pihak Kesultanan Banten, yaitu ketika Kesultanan Banten dipimpin oleh Maulana Muhammad Pangeran Ratu Ing Banten tahun 1580-1596. Maulana Muhammad merupakan sultan ketiga dalam sejarah Kesultanan Banten.

Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) Banten, ketika melakukan proses ekskavasi di area Keraton Surosowan itu, yakni selama empat bulan, tepatnya di sebelah Utara Surosowan. Dan yang diekskavasi bagian dari Surosowan atau bagian depan Istana, dan di lokasi itu temukan selain mata uang Kesultanan Banten, namun ditemukan juga peluru meriam, peluru batu dan lain sebagainya. Sementara proses ekskavasi itu berlangsung mulai hari Senin, (22/7/2019).

 

Sedangkan tujuan dari ekskavasi itu sendiri sesungguhnya untuk  memperlihatkan peta sebelah Utara Istana Surosowan. Dan hasil akhir dari proses ekskavasi tersebut, tentunya untuk mendapatkan perkiraan dan gambaran lokasi yang disebut Sri Manganti atau ruang tunggu tamu, yakni sebelum para tamu itu bertemu dengan Sultan. Bahkan,  beberapa keping uang masa Kesultanan Banten yang ditemukan melalui proses ekskavasi itu masih dalam kondisi baik. Karena cetakan huruf di uang tersebut menunjukkan penggunaan uang tersebut di zaman Kesultanan Banten.

 

  1. Ciri Mata Uang Banten, Sudah Ada Sejak Abad 17 M.

 

Bahkan, mata uang Banten yang dipamerkan di Museum Negeri Banten (Senin, 4 Oktober 2021) lalu itu, ternyata Banten ketika dimasa kejayaannya, memang tidak hanya memiliki kemajuan dalam bidang militer dan ekonomi, bahkan Banten pada saat itu pernah menjadi pusat perekonomian dunia. Sebagai pusat perekonomian, sudah pasti Banten ketika itu sangat mudah untuk membuat mata uang yang biasa digunakan dalam bertransaksi.

 

Bahkan, menurut berita dari Kantor Berita Reuters Inggeris, yakni di tahun 2022 yang lalu, diberitakan juga tentang penemuan koin-koin misterius asal Banten. Satu ikat koin-koin yang berasal dari Jawa, Indonesia telah ditemukan dan tertanam dalam lumpur di pinggiran Sungai Thames, London. Bahkan uang kuno asal Banten tersebut, berbahan tembaga dan berlubang segi enam ditengahnya. Berisi 90 keping dalan satu renteng. Pada setiap kepingnya terdapat tulisan Arab yang berbunyi “Pangeran Ratu Ing Banten”. Dari hasil penelitian diketahui, bahwa uang kuno tersebut berasal dari abad ke 17 dan merupakan mata uang kuno Jawa pertama di Inggris. Karena, ketika dimasa Kesultanan Banten, memang sudah beredar mata uang Khasa dengan tulisan berhuruf Jawa Kuno pada bagian pinggir yang artinya Pangeran Ratoe, serta mata uang yang berhuruf Arab yang artinya Pangeran Ratu Ing Banten.

 

Sementara pada bagian belakang uang tersebut tampak polos. Sedangkan Pangeran Ratoe merupakan gelar dari Pengeran Sultan Maulana Muhammad, yakni yang memerintah Kesultanan Banten pada tahun 1580-1596. Uang tersebut dari bahan tembaga dengan ukiran diameter 31.8 mili meter, tebal 1,53 mili meter dan berat 7,42 gram. Sementara peredaran uang tersebut dimulai sejak masa Pemerintahan Sultan Abdul Mufahir Mahmud Badul Kadir, yaitu pengganti Sulan Maulana Muhammad awal abad ke 17 M.

 

  1. Mata Uang Kertas Daerah Banten Senilai Lima (5) Rupiah.

 

Sementara mata uang kertas Daerah Banten bernilai lima (5) rupiah pernah beredar juga di wilayah Kresidenan Banten. Dan uang kertas warna hijau itu, bagian depan uang tersebut ada gambar gerbang candi. Dan Banten merupakan salah satu daerah, yakni pasca tahun 1945 atau pasca kemerdekaan, yang dimandatkan langsung oleh pemerintah pusat Republik Indonesia untuk mencetak mata uang tersendiri. Karena saat itu memang dalam keadaan genting yang terjadi di Indonesia, karena penjajahan Belanda yang terus berlanjut pasca era kemerdekaan, dan akhirnya mengharuskan Banten untuk mencetak mata uang tersendiri. Bahkan ketika di zaman Kesultanan Banten, yakni sebagaimana telah dijelaskan diatas, bahwa sebelum Indonesia merdeka, Banten tentu memiliki sejarah yang panjang dengan kekayaan yang dimilikinya, terdapat mata uang yang digunakan dan sekaligus telah beredar di lingkup Kesultanan Banten. Dan dimasa penjajahan Belanda, Keresidenan Banten pun diperintahkan untuk mencetak mata uang tersendiri, hal itu sebagai starategi perlawanan blokade ekonomi Belanda. Untuk itu, tiga tahun pasca kemerdekaan, setelah mendapat mandat langsung dari pemerintahan pusat Republik Indonesia, dan Keresidenan Banten yang dipimpin oleh Kiyai Tb. Achmad Chatib, akhirnya mencetak mata uang Banten. Dan setelah mendapatkan persetujuan pemerintah pusat, Serang Banten pun dijadikan Masa pencetakan Uang Republik Indonesia Banten bernama “Uridab”, yakni  dimulai sejak bulan Februari hingga 11 Agustus 1947.

  1. Dokumen Sejarah Kesultanan Banten Dalam Bentuk Surat-Surat Penting Surat Sultan Banten untuk Raja Inggris Bertahun 1605. Dan dokumen tersebut beraksara Arab Tertua dari Tatar Sunda. Di antara dokumen sejarah yang berasal dari Tatar Sunda yang tertulis dalam aksara Arab adalah sepucuk surat yang ditulis pada permulaan abad 17 atas nama Sultan Banten untuk Raja Inggris James I. Menurut Titik Pudjiastuti, yakni sebagaimaba ia jelaskan di dalam bukunya berjudul “Perang, Dagang, Persahabatan: Surat-surat Sultan Banten” . Titik Puji Astutut menjelaskan, bahwa surat tersebut ditulis di Banten pada 4 Oktober 1605, yaitu pada masa perwalian Pangeran Abdul Kadir. Surat tersebut sekaligus tercatat sebagai dokumen tertua yang berasal dari sejarah Kesultanan Banten yang eksis sejak tahun 1526. Surat tersebut ditulis dalam bahasa dan aksara Arab lengkap dengan tanda baca (harakat). Sementara jumlah halaman surat tersebut hanya satu halaman, dengan jumlah baris teks 9 larik. Bahan kertas yang digunakan adalah kertas Eropa.

 

Terdapat dua buah cap yang terletak di sisi kanan teks surat, satu berbentuk lingkaran memuat tulisan dua kalimat tauhid (lâ ilâha illallâh Muhammad rasûlullâh) sebagai cap dari pihak Banten, dan yang satunya cap dari pihak Inggris, yaitu memuat tulisan “her majestys state paper office”. Menurut Titik Puji Astuti, bahwa hingga saat ini surat tersebut tersimpan di Public Record Office, London, dengan nomor kode PRO SP 102/4/8. Pudjiastuti mengatakan, bahwa surat tersenut dibawa ke Inggris oleh Kapten Henry Middleton dan dikirim kepada Raja James I pada tanggal 25 Mei 1606. Surat tersebut ditulis pada masa perwalian Pangeran Abdul Kadir dan kemungkinan diterima oleh Sir Henry Middleton pada tanggal 4 Oktober 1605 ketika ia bersiap-siap berlayar meninggalkan Banten untuk kembali ke Inggris pada tanggal 6 Oktober 1605. Terdapat tiga tokoh utama yang berkaitan dengan surat tersebut yang penting untuk disinggung, yaitu Pangeran Abdul Kadir dari Banten (sebagai penulis dan pengirim surat), Sir Henry Middleton dari Inggris (sebagai kurir yang membawa dan menyampaikan surat) serta Raja James I dari Inggris (sebagai penerima surat).

 

Pangeran Abdul Kadir sendiri berkuasa penuh sebagai Sultan Banten pada 1624-1651. Ketika menulis surat tersenut, sang pangeran belum menjadi sultan yang berkuasa penuh karena masih belum dewasa, dan Kesultanan Banten diatur oleh perwalian (1596-1924). Pangeran Abdul Kadir mulai berkuasa penuh sebagai penguasa Banten ke empat, yaitu sejak 1624 dan mendapat gelar Sultan pada tahun 1638 dengan pentahbisan dari Syarif Makkah. Sejak saat itu, ia dikenal dengan nama Sultan Abul Mafakhir Mahmud Abdul Kadir. Setelah meninggal pada 1651, ia digelari Sultan Ageng ing Banten.

 

Sementara itu, Sir Henry Middleton adalah Gubernur dari firma dagang “London Trading” yang memimpin pelayaran ke Kepualan Hindia Timur (Nusantara) pada periode 1603-1614. Adapun Raja James I adalah putra Ratu Mary dari Scotlandia dan Henry Stewart, Lord Danley. Ia dinobatkan sebagai Raja Inggris pada tahun 1603. Sebagai raja Inggris, ia menyatukan Scotlandia dengan Inggris. Melalui surat sebagaimana telah dikemukakan diatas, tentunya kita dapat mengetahui, bahwa pada masa itu antara Kesultanan Banten dan Kerajaan Inggris, ternyata memang terikat sebuah hubungan diplomatik dan persahabatan yang mencakup aspek politik dan perdagangan. Sementara berdasarkan isi teks surat tersebut, diketahui bahwa Sultan Banten memberikan ucapan selamat untuk Raja James I yang telah dinobatkan sebagai Raja Inggris. Sultan Banten juga mengucapkan terima kasih atas hadiah yang dikirim oleh Raja James I melalui Jenderal Milton. Dan sebagai balasannya, Sultan Banten akhirnya mengirimkan hadiah balasan untuk Raja James I berupa lukidan hewan ternak.

 

Berikut ini adalah suntingan teks dan terjemahan surat tersebut “Yâ Fattâh (Wahai Dzat Yang Maha Membuka). Surat cinta Raja Banten datang ke Raja Inggris, Skotlandia, Prancis dan Irlandia. Semoga Allah memanjangkan umurnya dan menambahkannya wilayah kedaulatan negerinya setiap hari, dan memakmurkan semua wilayah dan rakyat di bawah pemerintahan Raja Inggris. Ammâ ba’du. Engkau telah mengutus kepadaku Raja Milton, yang mana ia telah datang kepadaku dengan selamat. Aku mendengar bahwa engkau menjadi Raja Inggris. Hatiku senang mendengarnya”. Sekarang, negeri Inggris dan negeri Banten adalah satu (bersahabat). Ammâ ba’du. Engkau telah memberi hadiah kepadaku, dan aku pun telah menerimanya dengan penuh cinta. Aku pun memberimu hadiah yaitu dua “faizhar”. Satu faizhar berupa empat belas binatang ternak. Satu faizhar lagi berupa tiga ekor binatang ternak yang lain.

Assalâm bi al-khair (salam dengan kebaikan). Sementara masa pemerintahan Sultan Abul Mafakhir Mahmud Abdul Kadir banyak meninggalkan dokumen-dokumen sejarah yang sangat penting. Dokumen-dokumen tersebut berupa arsip surat-surat diplomatik antara Kesultanan Banten dengan pihak otoritas luar, seperti Inggris dan VOC Belanda, juga berupa manuskrip-manuskrip yang sarat akan nilai-nilai keilmuan Islam.

 

Diantara manuskrip yang berasal dari masa sang Sultan ini adalah manuskrip kitab “al-Manhaj al-Wâdhih al-Sulûk” dan kitab “al-Mawâhib al-Rabbâniyyah ‘alâ al-As’ilah al-Jâwiyyah”. Dan kitab tersebut ditulis tahun 1637. Kedua kitab tersebut adalah karya Syaikh Ibn ‘Allân al-Shiddîqî al-Syâfi’î al-Makkî (w. 1647), yaitu seorang ulama sentral Makkah yang juga guru dari sang Sultan Banten pada saat itu. Kedua karya di atas ditulis dalam bahasa Arab dan khusus dikirim dari Makkah oleh pengarangnya untuk sang Sultan di Banten. Karya pertama berisi kajian ilmu politik dan etika tata negara, sementara karya kedua berisi ulasan dan jawaban (fatwa) dari Syaikh Ibn ‘Allân atas sepuluh buah pertanyaan yang diajukan oleh sang Sultan Banten, yaitu terkait berbagai persoalan kenegaraan dan keagamaan. Pada karya yang terakhir (al-Mawâhib al-Rabbâniyyah), terdapat penambahan teks berbahasa Jawa aksara Arab (Pegon) sebagai terjemah interlinear dari teks utama yang berbahasa Arab.

 

Dokumen-dokumen sejarah di atas setidaknya cukup membuktikan kepada kita, bahwa pada masa itu Banten merupakan sebuah kekuatan politik yang besar dengan aktivitas perekonomian dan  perdagangan yang mapan dan maju, khususnya di kawasan Nusantara. Bahkan, pamor atau kharismatik Kesultanan Banten saat itu memang sebanding dengan Kesultanan Aceh di Sumatra dan Kesultanan Mataram di pedalaman Jawa. Bahkan pada saat itu, Banten juga menjadi salah satu pusat keilmuan Islam yang terpenting di Asia Tenggara yang terkoneksi dengan pusat aktivitas keilmuan di Timur-Tengah.

 

  1. Sumber Sejarah Dalam Bentuk Surat Kabar

 

Sumber sejarah adalah segala sesuatu yang secara langsung atau tidak langsung menceritakan tentang keberadaan masa lalu. Sedangkan sumber sejarah disebut sebagai data sejarah. Sedangkan data sejarah mempunyai pengertian seluruh informasi yang dapat dijadikan sebagai dasar untuk menyusun kembali tentang peristiwa masa lalu. Sedangkan salah satu sumber sejarah yang bisa dijadikan rujukan adalah hasil  pemberitaan surat kabar. Bahkan, salah seorang wartawan yang kerapkali membuat berita ketika Indonesia dimasa penjajahan Belanda, yaitu seorang wartawan dan sekaligus seorang peneliti muda dari Prancis, yaitu Claudia Guillot. Dan bahkan ia telah mengarang buku berjudul, “Sejarah Dan Peradaban Abad X-XIII”. Buku tersebut merupakan kumpulan tulisan Claude Guillot. Dan buku itu diterbitkan oleh Kelompok Penerbit Gramedia, Ecole francaise d’Extreme-Orient (EFEO), Forum Jakarta-Paris, dan Pusat Penelitian dan Pengembangan Arkeologi Nasional Jakarta, yakni pada bulan Desember 2008 (Cetakan Pertama). Buku tersebut merupakan kumpulan tulisan Claude Guillot sebagian bersama penulis lain yang tersebar dalam berbagai jurnal/majalah, seperti Archipel, Indonesia, dan sejumlah buku bunga rampai yang diterbitkan antara tahun 1989 sampai 2006. Tulisan-tulisan tersebut umumnya berbahasa Perancis dan kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia untuk keperluan penerbitan buku tersebut. Jumlah tulisan yang terdapat dalam buku itu sebanyak 15 buah. Dan secara umum buku tersebut membicarakan tiga topik utama, yaitu Banten sebelum kedatangan Islam, komponen-komponen dari masyarakat Banten zaman Islam melalui tata perkotaan, perjuangan-perjuangan merebut kekuasaan dan terikatnya Banten pada dunia agraris, dan yang terakhir hubungan Banten dengan pihak-pihak asing.

 

Namun kalau kita coba telusuri, bahwa seorang Claude Guillot, ia adalah seorang wartawan, peneliti asal Perancis yang pernah menjadi dosen bahasa Perancis di berbagai universitas di Mesir, Tanzania dan Indonesia. Sedangkan buku karangannya, yakni sebagaimana judul diatas, memang disusun menjadi tiga bagian, dan masing-masing bagian terdiri atas beberapa artikel. Dan ketiga bagian buku dimaksud adalah : (1) ‘Banten sebelum Islam. (2). Masyarakat dan Politik dalam Kesultanan Banten Tahun 1678. ( 3). Banten dan Dunia Asing. Sedangkan isi ringkas buku tersebut sebenarnya telah diramu oleh penulis sendiri dalam Prakata (h. 11-12), tetapi terasa terlalu ringkas.

 

Untuk meringkaskan buku tersebut-pun terdapat kesulitan karena sebagian tampaknya artikel berdiri sendiri-sendiri, misalnya pada bagian satu yang diberi judul “Banten sebelum Islam”, tetapi satu artikel menyajikan masa peralihan di Banten  dari zaman Pajajaran ke zaman Islam.

 

Bagian pertama yang menyajikan “Banten sebelum Islam” terdiri atas dua artikel. Artikel pertama membahas “Negeri Banten Girang”. Artikel tersebut ditulis oleh Guillot. Dalam artikel tersebut diuraikan sejarah kuno Banten sebelum kedatangan Islam, yang menyebutkan bahwa pusat ibu kotanya masih di Banten Girang, sepuluh kilometer dari Laut Jawa di hulu Sungai Cibanten (h. 12). Hal itu  terungkap beradasarkan hasil penggalian arkeologi selama empat tahun (1988-1992) di situs Banten Girang (h. 16). Artikel tersebut memberikan simpulan bahwa dinasti Islam bukanlah pendiri Banten tetapi dinasti ini perebut kekuasaan dalam ‘negara’ yang telah memiliki sejarah yang panjang dalam perniagaan internasional. Sebuah simpulan yang harus dikritisi, terutama oleh kita masyarakat Banten.

 

Sedangkan artikel kedua membahas “Perjanjian Antara Portugis dan Sunda Tahun 1522 dan Masalahnya” (hal. 31-64). Artikel tersebut merupakan penafsiran atas sumber tertulis yang masih menjadi kendala bagi para sejawaran Indonesia karena menggunakan bahasa Portugis. Teks-teks lain di antaranya adalah catatan dua penulis kronik asal Portugis, Joao de Barros dan Diogo de Couto (h. 32-34).

 

Bagian kedua yang membahas ‘Masyarakat dan Politik dalam Kesultanan Banten Tahun 1678’ terdiri atas lima artikel, yaitu: (1). “Kebebasan Berusaha Melawan Ekonomi Terpimpin: Perang Saudara di Banten, 1580-1609 (h. 107-130), 2) “Orang-Orang Tionghoa Penghasil Gula di Kelapadua, Banten, Abad ke-17: Teks-Teks dan Peninggalan” (h. 131-154). ( 3). “Politik Produksi Pangan Sultan Ageng (1651-1682) (h. 155-200), (4) “Keseimbangan Sulit Antara Ambisi Politik dan Perkembangan Ekonomi: Perang dan Damai di Banten (Abad ke-16-ke-17) (h. 201-218), dan (5). “Pola Perkotaan dan Pemerintahan di Kota-Kota Perdagangan di Dunia Melayu (Abad ke-15-ke-17) (h. 219-240). Secara umum, bagian ini menguraikan “aspek-aspek sejarah kemasyarakatan dan peradaban Banten pada zaman Islam. (Bagian II)

Rekonstruksi Sejarah, Amnesia Sejarah dan Belajar Sejarah dari Batu Nisan (Bagian I)

Oleh : Adung Abdul Haris (Pengurus ICMI Orwil Banten)

 

Ilustrasi Batu Nisan

Ilustrasi Batu Nisan

  1. Pendahuluan

 

Upaya untuk melakukan rekonstruksi sejarah (termasuk upaya merekonstruksi sejarah Banten di masa kejayaannya) membutuhkan berbagai sumber sejarah yang lengkap. Sedangkan sumber sejarah adalah segala sesuatu yang secara langsung atau tidak langsung yang menceritakan tentang keberadaan masa lalu. Sumber sejarah disebut sebagai data sejarah. Sementara menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), sumber sejarah adalah data atau keterangan yang benar dan bahan nyata yang dapat dijadikan sebagai dasar kajian, analisis atau pun kesimpulan. Sedangkan data sejarah mempunyai pengertian seluruh informasi yang dapat dijadikan sebagai dasar untuk menyusun kembali tentang peristiwa masa lalu (rekonstruksi sejarah). Namun, perlu diingat, bahwa berbagai sumber sejarah itu bukanlah sejarah. Karena sejarah itu ada karena berbagai konstruksi dari para sejarawan terhadap sumber sejarah. Sedangkan adanya sumber sejarah merupakan bukti dan fakta adanya sejarah. Oleh karena itu, dengan adanya sumber sejarah, maka para ilmuan sejarah (para sejarawan) dapat mengetahui kenyataan sejarah. Tanpa sumber sejarah, maka para sejarawan tidak akan bisa bicara apa-apa tentang masa lalu. Begitu juga sebaliknya, yakni tanpa adanya sentuhan para sejarawan, maka sumber sejarah-pun belum tentu bisa banyak berbicara tentang masa lalu.

Sejarah Perjuangan Abuya Marwan (Batukarut-Pandeglang) dan Pentingnya Kehadiran Buku Sejarah Lokal (Bagian II)

Oleh : Adung Abdul Haris (Pengurus ICMI Orwil Banten)

III. Pengertian Sejarah Menurut Para Ahli

Sedangkan pengertian sejarah menurut para ahli, yakni mulai dari sejarawan kaliber dunia, yaitu Herodotus hingga sejarawan Indonesia, yaitu Mohammad Yamin. Namun, selama ini kita sering mendengar kata sejarah itu dalam kehidupan sehari-hari. Namun sejarah sesungguhnya adalah satu disiplin ilmu yang amat sangat penting, dan hingga saat ini sejarah menjadi satu disiplin ilmu yang sudah banyak dilirik oleh para kaum milenial, dan secara intensif sudah dipelajari di sekolah maupun di perguruan tinggi. Lalu, apa sih pengertian sejarah itu? Di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBRI) telah terdefinisikan, bahwa sejarah sebagai kejadian atau peristiwa yang benar-benar telah terjadi di masa lalu. Dari pengertian tersebut, maka sejarah pasti menyangkut soal kejadian atau peristiwa dan waktu. Namun pada hakekatnya bahwa sejarah juga ada banyak jenisnya, seperti sejarah lokal, nasional, sejarah dunia, geografi, hingga ekonomi, sosial dan politik. Sejarah adalah salah satu ilmu yang sangat penting untuk kita dipelajari. Ketika kita mempelajari ilmu sejarah misalnya, selain kita telah terintelektualisasi, dan bahkan wawasan kita juga akan terus bertambah dan kita akan semakin memahami tentang asal-usul terbentuknya sebuah identitas, juga dapat menjadi panduan atau refleksi diri dalam konteks untuk memahami dinamika hidup dan kehidupan, baik dimasa lalu, masa kini dan dimasa yang akan datang.

Page 3 of 12

Powered by WordPress & Theme by Anders Norén